Adakah film Indonesia yang cukup arif dalam memotret persoalan poligami? Jika di film //Ayat Ayat Cinta//(AAC) garapan sutradara Hanung Bramantyo, poligami dikemas sebagai polemik yang hadir dari politisasi agama maka di film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) poligami justru dikemas dalam cara yang cukup arif dan bijak tanpa menghadirkan konfrontasi maupun makna sinikal. ”Di sini justru melihat poligami secara lebih jernih,” kata Imam Tantowi yang menjadi penulis skenario adaptasi film KCB usai preview film ini di Jakarta, Selasa (2/6/).
Kejernihan yang dimaksud oleh Imam itu diperlihatkan lewat adegan ketika pertemuan keluarga Furqon dengan Anna Althafunnisa. Poligami yang selama ini kerap dijadikan black campaign terhadap Islam, dalam film ini justru dihadirkan lewat sebuah dialog yang setara dan berdasarkan keilmuan. Anna mengajukan dua syarat sebelum menerima tunangan Furqon. Selain harus menetap di lingkungan pesantren, Anna juga tak ingin Furqon melakukan poligami selama dirinya masih hidup dan bisa melayani kewajibannya sebagai seorang istri.
Dari adegan tersebut sempat dimunculkan perdebatan di antara kedua alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir tersebut. Namun Furqon dapat memahami permintaan Anna karena rujukan yang digunakan memiliki dasar keilmuan yang jelas. Dalam film itu dihadirkan kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah sebagai bahan rujukan.
Habiburrahman El Shirazy, penulis novel sekaligus aktor dalam film KCB, mengatakan persoalan poligami yang hadir di film ini menjadi semacam khasanah Islam yang luar biasa terhadap kemanusiaan. ”Poligami bukan sebuah keharusan tetapi ruqsoh atau keringanan untuk solusi kemanusiaan,” ujarnya.
Namun demikian Kang Abik, begitu sapaan Habiburrahman El Shirazy, menegaskan persoalan poligami yang muncul dalam film KCB ini bukan dihadirkan untuk menjadi semacam anti-tesis dari polemik poligami yang pernah dihadirkan pada film AAC. Kang Abik mengatakan setiap penulisan dialog yang ada pada film ini semaksimal mungkin dibuat mirip dengan versi novelnya. ”Sutradara di film ini begitu jujurnya dengan tidak ada menambah-nambahkan versi,” kata Habiburrahman.
Persoalan poligami sendiri hanyalah sebagian kecil dari pesan yang tersaji pada film KCB. Pesan lainnya dari film ini adalah bagaimana perjuangan seorang anak muda lewat karakter Azzam untuk menggapai kesuksesan. Film yang rencananya dirilis di delapan negara – Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Mesir, dan Australia – baru mulai tayang pada 11 Juni mendatang. Film ini menjadi karya novel best seller kedua dari Habiburrahman El Shirazy yang diadaptasi menjadi cerita film bioskop. Sebelumnya Ayat Ayat Cinta yang menjadi salah satu film box office nasional pada 2007.
Yang membedakan film ini dengan karya novel Habiburrahman yang telah lebih dahulu diangkat menjadi film adalah film ini berusaha melakukan pendekatan yang hampir sama dengan apa yang ada di dalam cerita novel. Termasuk di antaranya, proses syuting yang dilakukan di Mesir selama 22 hari. Sedangkan untuk mencari karakter tokoh utamanya, sutradara Chaerul Umam juga melakukan terobosan dengan cara mengadakan audisi ke sembilan kota.
Hasilnya, dalam film ini Chaerul Umam memang harus bekerja ekstra keras untuk mengarahkan akting para pemain debutan yang tampil sebagai tokoh utama pada film ini. Para tokoh utama itu adalah Kholidi Asadil Alam yang berperan sebagai tokoh utama Azzam. Kemudian Oki Setiana Dewi (Anna), Andi Arsyil Rahman (Furqon), Meyda Sefira (Ayatul Husna), dan pesinetron Alice Sofie Norin yang menjadi Eliana Pramesti. Para debutan itu kemudian dikolaborasikannya dengan para sineas senior semacam Deddy Mizwar, Didi Petet, Tika Putri, serta Ninik L Karim.
Sementara itu kelemahan yang cukup terasa dari film ini terdapat pada dialog yang terlalu panjang dan terasa kurang menghadirkan konflik. Bahkan, film yang akhirnya dijadikan sekuel pertama dari dua sekuel Ketika Cinta Bertasbih ini terasa sangat menggantung saat memasuki ending cerita. Pemenggalan sekuel ini dilakukan semirip mungkin dengan pemenggalan cerita yang ada pada novelnya. ”Mengapa film ini akhirnya harus kita bagi dua karena setelah dibuat ternyata durasinya hampir empat jam. Akhirnya terpaksalah kita membaginya menjadi dua cerita saja,” ujar Chaerul Umam, sang sutradara film. akb/kpo (Republika)
ruanghati.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar